Bangjo.co.id.CO.ID, JAKARTA – Beberapa pembuat atap rumbia di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten melaporkan kesulitan dalam memenuhi permintaan dari luar wilayah lokal yang utamanya berasal dari sektor perumahan, villa, serta restoran.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Atap rumbia merupakan variasi konvensional dibuat menggunakan dedaunan rumbia (bisa pula dari daun kelapa), yang telah disusun dan dipaku ke dalam kerangka berbahan dasar kayu ataupun bambu. Dedaunan rumbia tersebut dirangkai serta dikaitkan memakai talinya dari bambu sehingga menciptakan penutup atas sebuah struktur gedung. Jenis atap ini populer lantaran karakteristik asli, kemampuan isolasi termal yang handal, ditambah daya tahannya melawan iklim.

Produk ini terbuat dari daun sago atau daun kelapa yang telah disusun. Cara membuatnya melibatkan penyusunan kembali daun sago dan mengikatkannya dengan talinya berbahan dasar bambu. Struktur atapnya memakai rangkaicayatan kayu ataupun bambu. Seluruh bahan-bahannya bersifat organik.

Manfaat dari atap rumbia antara lain menciptakan suasana natural, memberikan isolasi panas yang efisien, serta ketahanannya terhadap berbagai kondisi cuaca. Bangunan bertutup atap rumbia cenderung lebih unggul dalam penyerapan panas.

Rumput rumbia banyak dipakai di desa-desa, terutama di lokasi dengan kepadatan vegetasi tinggi. Material dari daun rumbia ini pun bisa dioptimalkan untuk membuat kerajinan berharga.

Banjir pesanan

“Arul (30), seorang pengrajin atap dari Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak, mengatakan bahwa minggu ini pemesanan atap rumbia telah mencapai 10 ribu lembar yang datang dari masyarakat Badui,” ungkapnya baru-baru ini.

Saat ini, peningkatan permintaan untuk atap rumbia dari luar kawasan telah mengharuskan perekrutan tambahan enam pekerja, menjadikannya delapan orang secara keseluruhan.


Harga atap rumbia biasanya dibanderol sekitar Rp2.000 per lembar di lokasi penjualan, dan apabila dikirim ke luar kota akan dikenakan biaya tambahan tergantung pada jarak yang harus dilalui.

Pada saat ini, sebagian besar permintaan untuk atap berasal dari masyarakat Badui lantaran struktur hunian mereka terbuat dari atap rumbia.

“Kami minggu ini menanggapi kebutuhan masyarakat Badui yang mencakup 10 ribu unit dengan harga Rp4.000 per item dan hal itu memberikan hasil pendapatan sebesar Rp40 juta,” ujarnya.

Amir (55), yang merupakan pembuat atap di Kabupaten Lebak, menyebutkan bahwa dalam dua bulan terakhir, permintaan pemesanan telah naik. Sebelumnya dia hanya memproduksi 5.000 potong per lembar setiap bulannya, namun saat ini jumlah tersebut sudah mencapai 20 ribu potong per lembar tiap bulan.

Pada minggu ini, mereka telah mendapatkan pesanan sebanyak 10 ribu lembar atap dari Tangerang untuk proyek membangun sebuah restoran.

Banjir Order, Bisnis Atap Rumbia Siap Raih Laba Hingga Rp 40 Juta per Pesanan

Warga sekitar mengelilingi Rumah Pusaka Lanting Nustapy yang tetap menjaga atapanya terbuat dari rumbia di Desa Negeri Hila, kabupaten Maluku Tengah, provinsi Maluku pada hari Minggu tanggal 1 Mei 2022. Negeri Hila merupakan sebuah destinasi wisata di daerah tersebut yang jaraknya mencapai 37 km dari pusat Kota Ambon, dan menawarkan kekhasan budayanya yang sangat terhubung dengan Kesultanan Jailolo yang ada di Provinsi Maluku Utara. -(ANTARA/FB Anggoro)

“Mulai dari 10.000 atap dapat menciptakan penghasilan sebesar Rp40 juta jika setiap lembar atap dihargaiRp4.000,” terangnya.

Mad Aceng, Ketua Kelompok Perajin Atap Rumbia di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, menyebutkan bahwa saat ini terdapat kendala dalam memperoleh bahan dasar berupa daun pohon rumbia atau dikenal juga sebagai kirai (bahasa Sunda), hal ini disebabkan oleh laju pembangunan infrastruktur yang semakin cepat.

Sekilanya, area pohon rambutan tersebut mencakup kurang lebih 20 hektare dan mendukung kelangsungan hidup 50 pengrajin lokal dengan menyediakan bahan mentah yang dibutuhkan.

Masalah dalam mengumpulkan dedaunan kirai disebabkan oleh pembangunan Jalur TOL Serang-Panimbang, bersamaan dengan pertumbuhan pemukiman dan kompleks kantor.

“Mereka berkolaborasi dengan pembuat atap rumbia yang lain guna mengumpulkan daun kirai hingga ke beberapa pelosok desa di wilayah Kecamatan lain dari Kabupaten Lebak dan Serang,” jelasnya.

Memberdayakan ibu rumah tangga

Di masa lalu, atap dari daun rumbia biasa digunakan sebagai penutup atas gudang penyimpanan hasil tanaman. Kini, material tersebut kerap menjadi pilihan utama untuk melapis bagian atap pada hunian. Tak hanya itu, banyak juga yang memanfaatkannya sebagai tutup bagi kandang unggas maupun saung taman.

Banjir Order, Bisnis Atap Rumbia Siap Raih Laba Hingga Rp 40 Juta per Pesanan

Tukang anyaman telah menuntaskan pembuatan atap dari rumbia di Desa Blang Weu, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh. -(ANTARA/Rahmad)

Usaha pembuatan genteng alang-alang adalah bentuk kegiatan yang berfokus pada pengolahan material dasar yang diperoleh dari tanaman alang-alang, kemudian produk tersebut dikembangkan dan digunakan sebagai atap (atap alang-alang).

Adanya upaya pembuatan atap rumbiah secara umum bisa mendukung ekonomi masyarakat khususnya mereka di daerah pedesaan. Kegiatan ini berkontribusi dengan cara yang cukup produktif, terutama bagi para istri yang menghabiskan waktu mereka untuk membuat atap rumbia demi memenuhi kebutuhan pasar konsumen.

Bantu suami cari nafkah

Banyak warga di berbagai wilayah melaksanakan kerajinan membuat atap dari tanaman rumbia. Di desa Panggak Laut, Kabupaten Lingga, terdapat komunitas besar yang mempraktikkan profesi tersebut dalam menjaga kesejahteraan keluarganya. Sebagai contoh adalah perempuan bernama Komariah. Untuk mendukung pendapatan suami dan menjamin keperluan sehari-hari mereka, dia mulai merintis bisnis dengan cara menyulam dedaunan sagu atau rumbia menjadi bahan penutup atap rumah. Dia telah mengerjakannya secara rutin untuk beberapa dekade.
Tidak hanya Komariah, tetapi juga ada wanita lain seperti Rosnah (44) yang merupakan salah satu ibu rumah tangga yang juga telah menghabiskan waktu dua puluh tahun lamanya sebagai pengerajin atap rumbia.

Saya bekerja sebagai pembuat genteng hingga saat ini, meskipun saya masih single dan telah memiliki dua orang anak,” jelas Rosnah. “Anak sulungku kini berusia 15 tahun dan sedang mengenyam pendidikan di kelas IX SMP, sementara anak bungsuku baru berumur 3,5 tahun.

Membuat atap dari dedaunan telah menjadi tradisi warisan dari generasi sebelumnya. Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas merangkai atap tersebut bisa mendukung penghidupannya bersama sang suami. “Bahan-bahan utama untuk pembuatan atap ini adalah daun sago atau daun rumbia yang sudah matang, bambu, serta tali yang dibuat dari kulit pelepah pohon sago. Saya biasanya mengumpulkan semua bahan ini di dalam hutan,” jelasnya.


Selama sebulan, ibu dari dua anak tersebut mampu merangkai atap berbahan dasar daun yang mencakup antara 700 sampai 1000 lembar. Dia menjual setiap lembar dengan harga 700 rupiah. “Alhamdulillah, seluruhnya dapat laku terjual dalam waktu satu bulan,” katanya.

Di wilayah Kabupaten Lingga, tak hanya terdapat pembuat atap dari daun di Desa Panggak Laut. Beberapa area lainnya seperti desa Nerekeh, Budus, Kudung, serta Teluk juga memiliki beberapa pengrajin rumah dengan bahan dasar atap tradisional tersebut.

Bukan hanya di Lingga, bahkan di Karimun pun terdapat perkembangan dalam pembuatan atap sebagai suatu kerajinan tangan. Banyak ditemui di Kelurahan Alai, Desa Sungai Ungar serta di Kelurahan Sawang.

Dari pembuatan atap berbahan dasar daun rumbia ini pun turut menyediakan penghasilan untuk warga di Kundur.