Scroll Untuk Lanjut Membaca

 

JOMBANG, bangjo.co.id– Fatwa kontroversial dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terkait penggunaan sound system atau sound horeg dalam berbagai kegiatan hiburan kini menuai pro dan kontra luas, termasuk di Kabupaten Jombang. Dalam fatwa yang dirilis pada 16 Juli 2025 itu, MUI Jatim menyatakan bahwa penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi 85 desibel (dB) yang berdampak negatif—seperti merugikan kesehatan, ketenteraman masyarakat, atau digunakan dalam acara maksiat—dinyatakan haram.

 

Namun, penggunaan sound system dengan volume di bawah 85 dB untuk kegiatan positif dan tanpa unsur maksiat, tetap diperbolehkan atau mubah.

 

Wakil Ketua MUI Jombang, KH Muhammad Nur Hanan, dalam forum sosialisasi di Kecamatan Jombang, menjelaskan secara terperinci, pada Rabu (23/07/2025)

 

Fatwa tersebut tidak muncul sepihak dari MUI, melainkan sebagai respons atas surat permohonan dari masyarakat dan petisi penolakan sound horeg yang ditandatangani oleh 828 orang per 3 Juli 2025.

 

MUI Jatim menilai fenomena penggunaan sound system berlebihan telah menimbulkan potensi konflik horizontal, keresahan masyarakat, serta gangguan kesehatan, terutama gangguan pendengaran akibat paparan suara di atas 120 dB.

 

Pengukuran di lapangan oleh MUI Jember juga membuktikan bahwa suara sound horeg di berbagai lokasi rata-rata melebihi ambang batas WHO, yaitu 85 dB untuk paparan selama 8 jam. Bahkan beberapa titik tercatat mencapai lebih dari 100 dB dalam jarak 10 hingga 25 meter.

 

Secara rinci, fatwa MUI Jatim menyatakan mengenai sound horeg dengan ketentuan sebagai berikut:

 

-Sound horeg haram jika digunakan dengan intensitas berlebihan (lebih dari 85 dB), dalam kegiatan yang mengandung unsur kemungkaran seperti joget bebas, aurat terbuka, atau digunakan keliling ke permukiman yang menimbulkan keresahan.

 

-Sound horeg boleh (mubah) jika digunakan secara wajar, di bawah 85 dB, dalam kegiatan yang bersifat positif seperti pernikahan, pengajian, atau kegiatan keagamaan, dan tidak mengandung unsur maksiat.

 

-Battle sound atau adu suara yang berpotensi merusak fasilitas dan menyia-nyiakan harta dinyatakan haram mutlak.

 

-Pihak yang menyebabkan kerugian akibat kebisingan wajib mengganti kerugian sesuai hukum.

 

MUI Jatim juga memberikan rekomendasi regulasi kepada pemerintah provinsi dan pusat agar segera menyusun aturan dan standar teknis penggunaan sound system, termasuk soal izin, pemantauan, dan sanksi.

 

Pernyataan kontroversial datang dari Sekretaris Paguyuban Sound System Jombang (PSSJ) saat sesi tanya jawab dalam forum sosialisasi. Ia menyebut bahwa jika batas maksimal 85 dB dijadikan patokan mutlak, maka sound system forum itu sendiri pun bisa tergolong haram.

 

“Kami bawa alat SPL Meter. Yuk kita ukur bersama. Dari jarak 10 meter, hasilnya sudah di atas 100 dB. Kalau begitu, kegiatan kita ini pun bisa dianggap haram,” ujarnya.

 

SPL Meter (Sound Pressure Level Meter) memang digunakan untuk mengukur intensitas suara, dan menjadi acuan teknis penting dalam menetapkan batas wajar yang disarankan oleh WHO dan pemerintah.

 

Koiman, Ketua PSS Jombang, menyampaikan keresahan pelaku usaha sound system akibat fatwa tersebut. Banyak konsumen yang sudah membayar uang muka (DP), kini mempertanyakan nasib acara mereka jika tiba-tiba dilarang.

 

“Masyarakat resah. Mereka sudah DP. Kalau nanti dilarang, nasib uang mereka bagaimana? Kami juga bingung menjelaskan,” ungkap Koiman.

 

Ia juga menilai, keputusan MUI Jatim tidak melibatkan komunitas pelaku usaha lokal seperti PSSJ, sehingga terasa sebagai kebijakan sepihak. Meski dalam forum sosialisasi disebut ada pelibatan perwakilan dari Malang dan Jember, namun PSS Jombang tidak pernah diajak berdiskusi sebelumnya.

 

Demi menghindari ketimpangan dan kecemasan di lapangan, PSSJ telah mengajukan permohonan audiensi kepada Bupati Jombang. Koiman menyampaikan bahwa ia sudah berkomunikasi dengan bupati dan dijadwalkan akan beraudiensi pada Jumat mendatang bersama perwakilan paguyuban, Polres, dan MUI.(*)