Scroll Untuk Lanjut Membaca

 

Bangjo.co.id | Politik sebagai Panggung Simbolik

Dalam politik, keputusan bukan semata soal hukum dan administrasi, tapi juga soal pesan, simbol, dan strategi. Presiden Prabowo Subianto tampaknya sangat memahami ini. Belum genap setahun menjabat, ia telah mengambil langkah politik yang sarat makna: memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, serta abolisi kepada Thomas Lembong, mantan Kepala BKPM dan tokoh ekonomi yang pernah berada di lingkaran oposisi.

Dua kebijakan ini mungkin tampak legal-formal belaka. Namun jika dicermati lebih dalam, terdapat berbagai lapisan makna politik di baliknya—dari mulai pembentukan citra kepemimpinan, manajemen koalisi, sampai pembelahan kekuatan politik lawan. Pertanyaannya: apakah langkah ini merupakan tanda rekonsiliasi nasional yang tulus, atau justru bagian dari proyek konsolidasi kekuasaan yang lebih luas?

 

Makna Simbolik Amnesti dan Abolisi dalam Politik Indonesia

Secara yuridis, presiden memang memiliki hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun dalam praktik, kebijakan ini selalu politis sifatnya.

Contohnya, Presiden Soekarno menggunakan amnesti untuk membebaskan para pemberontak PRRI/Permesta sebagai upaya mengakhiri perang saudara. Sementara Presiden Gus Dur mengusulkan amnesti bagi tokoh-tokoh kiri, walau tak pernah berhasil karena resistensi politik. Dengan demikian, amnesti dan abolisi adalah alat politik yang sah, tapi juga sensitif.

Dalam konteks hari ini, Prabowo menggunakan dua alat itu secara simultan untuk dua tokoh dari dua kutub yang berbeda: Hasto, representasi PDIP dan nasionalis-kerakyatan, serta Tom Lembong, simbol teknokrasi globalis dan liberalisme pasar. Kombinasi ini bukan kebetulan. Ini desain.

 

Amnesti Hasto: Jembatan ke PDIP atau Paku Peti Oposisi?

Kasus hukum yang menyeret Hasto Kristiyanto—apapun substansinya—terjadi dalam iklim politik yang tegang pasca-Pilpres 2024. PDIP menolak hasil pemilu, mempertanyakan netralitas aparat, bahkan menolak bergabung ke koalisi. Dalam iklim seperti itu, amnesti terhadap Hasto bisa dibaca dalam dua cara:

1. Sebagai ajakan damai. Prabowo ingin mengakhiri polarisasi dengan mengulurkan tangan kepada lawan politik. Dengan mengampuni Hasto, Prabowo memberi pesan bahwa ia bukan pemimpin dendam. Ini bisa membuka jalur dialog antara Gerindra dan PDIP.

2. Sebagai strategi pecah belah. Justru karena Hasto adalah figur kunci PDIP, pemberian amnesti bisa menjadi cara membelah kekuatan internal partai. Jika Hasto cenderung moderat dan membuka komunikasi dengan istana, maka faksi-faksi dalam PDIP bisa terbelah: antara yang ingin bergabung dan yang tetap keras menjadi oposisi.

Jika kita perhatikan dinamika PDIP pasca amnesti ini, mulai muncul suara-suara faksional yang lebih lentur terhadap pemerintah. Ini menguatkan dugaan bahwa Prabowo tidak sekadar merangkul, tapi juga mengatur ulang peta lawan.

 

Abolisi Tom Lembong: Simbol Prabowo yang Makin “Market Friendly”

Di sisi lain, abolisi terhadap Thomas Lembong juga sangat strategis. Tom adalah tokoh pasar, mantan Menteri Perdagangan, dan figur penting dalam ekosistem ekonomi digital Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sosok yang pernah vokal mengkritik pendekatan ekonomi nasionalis sempit.

Dengan menghapus kasus hukumnya melalui abolisi, Presiden Prabowo seakan mengirimkan tiga pesan penting:

Kepada investor: pemerintahannya ramah terhadap profesional, teknokrat, dan kalangan bisnis. Ini penting untuk menarik investasi, terutama saat ekonomi global sedang tidak stabil.

Kepada kalangan liberal: bahwa Prabowo bukan tokoh konservatif tunggal, tapi juga bisa bekerja sama dengan mereka yang dulu berseberangan, asalkan punya kontribusi strategis.

Kepada elite lama: bahwa siapa pun bisa “dimaafkan” atau “dipanggil kembali” sepanjang mau bermain dalam kerangka kekuasaan yang baru.

Secara tidak langsung, ini adalah bentuk co-optation terhadap kekuatan elite lama yang pernah melawan, dan kini diarahkan untuk memperkuat rezim.

 

Dampak Politik: Dari Koalisi Jumbo ke Oposisi Tipis

Kedua tindakan ini—amnesti dan abolisi—tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik nasional: pemerintahan dengan koalisi superbesar dan oposisi yang makin tipis.

Langkah ini memperkuat kesan bahwa Prabowo sedang merancang koalisi de facto nasional, bahkan jika secara formal PDIP belum masuk pemerintahan. Dengan melemahkan perlawanan dari dua poros penting (nasionalis-kerakyatan dan teknokrat-liberal), maka ia menciptakan kondisi politik yang sangat kondusif bagi konsolidasi kekuasaan jangka panjang.

Namun di sisi lain, ini menciptakan masalah demokratis:

Siapa yang akan jadi oposisi yang kredibel?

Di mana ruang kritik akan hidup, jika semua elite dirangkul dan dijinakkan?

Apakah ini awal dari era politik satu suara yang menghilangkan checks and balances?

 

Rekonsiliasi vs Konsolidasi: Dua Jalan yang Beda Arahnya

Tentu, setiap pemerintahan membutuhkan stabilitas. Tapi rekonsiliasi tidak sama dengan kooptasi. Jika pemberian amnesti dan abolisi dilakukan demi membuka ruang dialog, membangun kembali kepercayaan politik, dan menciptakan harmoni nasional—maka itu langkah berani dan patut dihargai.

Namun jika tindakan itu dilakukan hanya untuk melemahkan oposisi, menciptakan oligarki baru, dan mengunci kekuasaan agar tak terganggu kritik—maka kita sedang berjalan ke arah konsolidasi kekuasaan yang membahayakan demokrasi.

Yang harus dituntut publik sekarang adalah akuntabilitas: sejauh mana keputusan presiden ini berpihak pada keadilan hukum, bukan sekadar agenda kekuasaan? Apakah langkah ini berlaku universal, atau hanya bagi elite-elite tertentu yang dianggap “berguna”?

 

Demokrasi Tidak Bisa Berdiri Sendiri

Demokrasi bukan hanya soal pemilu dan kekuasaan mayoritas. Ia membutuhkan oposisi, kritik, dan partisipasi. Amnesti dan abolisi adalah instrumen hukum-politik yang bisa memperkuat demokrasi—jika digunakan untuk menyembuhkan luka politik. Tapi bisa juga menjadi alat pengendali, jika digunakan untuk meredam suara-suara alternatif.

Presiden Prabowo sedang memainkan kartu-kartu besarnya. Terserah kita—sebagai rakyat dan pengamat—untuk terus awas, apakah ini permainan untuk menyatukan bangsa, atau sekadar permainan untuk memegang semua bidak di papan kekuasaan.

 

(Hamzah)