JOMBANG, bangjo.co.id | Dalam teori demokrasi, hukum menjadi landasan utama yang menata hubungan antara penguasa dan rakyat. Prinsip rule of law mengandaikan hukum berdiri di atas semua pihak, tanpa terkecuali. Namun, dalam praktik, seringkali hukum tampak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat kecil dihukum keras, sementara elite berkuasa kerap lolos dari jerat hukum.
Fenomena ini bukan hanya soal teknis penegakan hukum, melainkan menyentuh persoalan keteladanan. Bagaimana mungkin rakyat bisa menghormati hukum jika penguasanya sendiri kerap mempermainkan hukum?
Jejak Ulama dalam Mengoreksi Kekuasaan
Sejarah Islam mencatat peran ulama dalam menjaga keadilan. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, misalnya, berani menegur Khalifah al-Muqtafi ketika mengangkat seorang hakim zalim. Sikap kritis ini memperlihatkan bahwa ulama bukan sekadar penuntun spiritual, melainkan juga pengawal moral yang menjaga hukum dari penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam konteks modern, figur ulama, intelektual, maupun civil society tetap relevan sebagai penyeimbang kekuasaan. Mereka menjadi suara kritis yang mengingatkan penguasa agar tidak terjebak pada praktik hukum yang diskriminatif.
Prasyarat Keteladanan
- Keteladanan hukum bukanlah jargon, melainkan praktik yang harus ditunjukkan penguasa melalui:
- Transparansi kebijakan, agar rakyat tahu proses dan motif di balik keputusan.
- Konsistensi penegakan hukum, tanpa membedakan status sosial atau politik.
- Keterbukaan terhadap kritik, sebagai bagian dari kontrol sosial dalam demokrasi.
Legitimasi penguasa dalam demokrasi tidak hanya ditentukan oleh kemenangan dalam pemilu, melainkan juga oleh sejauh mana ia mampu menegakkan hukum dengan adil. Ketika penguasa menjunjung tinggi keadilan, rakyat akan mengikuti dengan kesadaran hukum yang sehat. Sebaliknya, bila hukum dijadikan alat kekuasaan, maka runtuhlah kepercayaan publik.
Pada akhirnya, keteladanan hukum penguasa adalah cermin kualitas demokrasi itu sendiri.
(Adi Waluyo)