Bangjo. co. id – Setiap kali Jombang disebut, orang segera ingat pesantren dan ulama besar. Dari Tebuireng hingga Tambakberas, dari KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, hingga Gus Dur—semua lahir dari tanah ini. Tidak berlebihan bila muncul wacana menjadikan Jombang sebagai “Ibukota NU” yang ramai digaungkan lewat sejumlah media lokal Jombang.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Namun, di balik simbol agung itu, ada wajah lain Jombang yang jarang disorot: kemiskinan, pengangguran, perceraian, hingga kenakalan remaja. Pertanyaan mengusik pun muncul: apakah kota ini benar-benar siap menyandang mahkota, atau hanya ingin menutupi luka sosial dengan simbol agama?

Data resmi menunjukkan, pada Maret 2024 masih ada 110,57 ribu jiwa (8,6%) penduduk Jombang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, 7.408 jiwa masuk kategori kemiskinan ekstrem. Di sisi lain, 28.738 orang (3,75% angkatan kerja) masih menganggur, dengan 1.662 di antaranya bergelar sarjana. Pendidikan tinggi rupanya tidak cukup menjamin masa depan jika lapangan kerja tak tersedia.

Di ranah keluarga, masalah tak kalah serius. Sepanjang tahun 2022 tercatat 3.171 perceraian, dan per Agustus 2025 sudah ada 1.747 kasus perceraian baru, 70 persen di antaranya diajukan oleh pihak istri. Faktor ekonomi menjadi penyebab dominan. Lebih mengkhawatirkan, dalam empat tahun terakhir ada 1.511 kasus pernikahan dini di Jombang—cermin rapuhnya pondasi keluarga santri.

Sementara itu, kenakalan remaja tak jarang menghiasi berita lokal: balap liar, narkoba, hingga kriminalitas di kalangan pelajar. Kota yang dikenal sebagai gudangnya pesantren ternyata juga menyimpan paradoks besar dalam generasi mudanya.

Wacana Ibukota NU selalu dijanjikan akan mengerek ekonomi: wisata religi, event nasional, hingga branding global. Tetapi, apakah APBD Jombang sudah cukup berani? Jalan-jalan masih sempit, fasilitas umum terbatas, pusat konvensi berskala nasional hampir tak ada. Setiap haul Gus Dur, ribuan orang berdesakan, ekonomi rakyat memang hidup, tetapi sekaligus memperlihatkan rapuhnya infrastruktur.
Jika dana publik hanya habis untuk seremonial dan simbol, tanpa mengatasi masalah dasar rakyat, status Ibukota NU hanya akan jadi hiasan baliho dan jargon politik menjelang pemilu.

NU jelas akan mendapat legitimasi simbolik. Elite politik lokal pun akan ikut menunggangi, berlindung di balik jargon santri untuk mendulang suara. Tapi bagaimana dengan rakyat kecil?
Petani yang hasil panennya dihargai murah? Buruh yang upahnya serba pas-pasan? Ibu rumah tangga yang terpaksa menggugat cerai karena ekonomi tak kunjung membaik? Santri lulusan pesantren yang menganggur?
Apakah mereka ikut menikmati predikat Ibukota NU, atau sekadar jadi penonton, sementara keuntungan mengalir ke kantong investor dan elite politik?

Bahaya lain yang mengintai adalah eksklusivitas. NU memang mayoritas, tapi bukan satu-satunya di Jombang. Jika status Ibukota NU dikelola dengan mental “ini kota kami,” maka Jombang berisiko menciptakan sekat sosial yang memecah belah. Identitas seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok pemisah.

Apakah Jombang siap menjadi pusat Islam moderat Nusantara? Ataukah ia hanya sedang dipaksa mengenakan mahkota yang terlalu besar, sementara kaki-kakinya rapuh oleh kemiskinan, pengangguran, perceraian, dan kenakalan remaja?
Jika jawabannya serius, maka wacana Ibukota NU harus diikuti revolusi kebijakan:

APBD berani berpihak pada pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.
Program sosial masif untuk menekan perceraian dan pernikahan dini.
Penguatan pendidikan karakter dan lapangan aktivitas bagi remaja agar tidak terjerumus kenakalan.

Dan, yang terpenting, inklusivitas sosial agar predikat Ibukota NU benar-benar menjadi rumah bersama, bukan milik satu kelompok saja.

Tanpa itu semua, lebih baik kita jujur: Jombang belum pantas menyandang gelar Ibukota NU. Kota ini harus terlebih dahulu menyelesaikan luka sosialnya sebelum berani mengklaim diri sebagai pusat peradaban Islam Nusantara. (*)