Iman Sebesar Biji Sesawi di Tengah Badai Digital

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Di suatu sore yang sunyi, para murid datang kepada Yesus dengan permintaan yang terdengar sangat rohani: “Tuhan, tambahkanlah iman kami!” Mereka rindu iman yang besar, mungkin agar lebih kuat menghadapi badai, lebih berani menghadapi dunia, atau lebih yakin dalam doa. Tapi Yesus tidak memberi mereka “tambahan iman” seperti menuangkan air ke dalam gelas. Ia justru menunjuk pada sesuatu yang kecil: biji sesawi.

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja…”

Bukan soal ukuran, melainkan soal kepercayaan. Biji sesawi memang kecil, tapi di dalamnya tersimpan potensi yang luar biasa: akar yang kuat, batang yang tegak, daun yang rindang. Demikian pula iman sejati: tak perlu heboh, tak perlu dipamerkan, asal ia hidup dan menancap dalam ketaatan. Bahkan setelah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan, murid Tuhan diajak berkata dengan rendah hati: “Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.”

Inilah undangan Injil hari ini: bukan menjadi pahlawan iman yang dipuja, tapi hamba yang setia dalam hal-hal kecil.

Dan justru di situlah kita menemukan gema dari Habakuk, nabi yang hidup dalam dunia yang tak kalah kacau dari zaman kita. Ia berseru dalam kegelapan: “Berapa lama lagi, ya TUHAN, aku berseru, tetapi Engkau tidak mendengar?” Ia melihat kekerasan merajalela, hukum dilumpuhkan, keadilan terasa jauh. Tapi di tengah keluh kesah itu, Allah memberinya satu janji yang menjadi fondasi seluruh perjalanan iman umat-Nya: “Orang benar akan hidup oleh imannya.”

Kata-kata itu bukan sekadar penghiburan, melainkan prinsip hidup. Di tengah ketidakpastian, ketika jawaban Tuhan terasa lambat dan dunia terasa tidak adil, iman bukanlah pelarian, melainkan pijakan. Dan di era digital ini, ketika berita buruk menyebar lebih cepat daripada kabar baik, ketika opini bisa menghakimi sebelum fakta jelas, kita pun mudah terombang-ambing seperti Habakuk. Namun, janji itu tetap berlaku: orang benar akan hidup oleh imannya. Bukan oleh jumlah like, bukan oleh validasi publik, tapi oleh kepercayaan yang tenang kepada Allah yang setia.

Paulus, dalam suratnya kepada Timotius, melanjutkan alur yang sama. Ia tidak meminta Timotius mencari karunia baru atau menjadi tokoh yang dikagumi banyak orang. Sebaliknya, ia berkata: “Kobarkanlah karunia Allah yang ada padamu!” Artinya, karunia itu sudah ada tinggal dihidupkan, dipelihara, dan dinyalakan kembali. Di tengah tekanan sosial dan ancaman penganiayaan, Paulus mengingatkan: jangan malu bersaksi tentang Tuhan, jangan biarkan ketakutan memadamkan api iman yang telah diberikan-Nya.

Pesan itu menyentuh jantung tantangan kita hari ini. Di dunia digital, identitas sering dibentuk oleh apa yang kita tampilkan bukan oleh siapa kita sebenarnya. Kita mudah tergoda untuk menampilkan diri lebih “rohani”, lebih sukses, lebih bahagia daripada kenyataan. Atau sebaliknya, kita justru kehilangan semangat karena merasa “kurang” dibanding orang lain. Tapi Paulus mengajak kita kembali ke sumber: Allah telah memberimu karunia. Peliharalah itu dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus.

Maka, ketiga bacaan ini membentuk satu alur yang indah:

Dari permintaan para murid akan iman yang besar,

menuju Habakuk yang belajar percaya meski dalam kegelapan,

hingga Timotius yang diajak menghidupkan kembali karunia yang sudah diterima,

semuanya mengarah pada satu kebenaran: iman sejati bukanlah pencapaian spektakuler, melainkan kesetiaan yang tenang dalam keseharian.

Di era digital yang penuh godaan pencitraan, kita diingatkan:

Allah tidak membutuhkan iman yang viral,

tapi iman yang setia

iman yang tetap berdoa meski tak ada yang melihat,

iman yang tetap jujur meski tak ada yang memuji,

iman yang tetap mengasihi meski dikritik di kolom komentar.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar iman kita di mata dunia,

tapi seberapa dalam kita bersandar pada-Nya dalam diam dan ketaatan.

Tuhan Yesus,

di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus menuntut perhatian,

ajar kami untuk diam sejenak dan bersandar pada-Mu.

Jangan biarkan kami terjebak dalam keinginan untuk tampil sempurna,

tapi bimbing kami untuk hidup setia dalam hal-hal kecil.

Kobarkanlah iman kami yang kadang redup,

dan jadikan kami hamba-hamba-Mu yang rendah hati,

yang melakukan kewajiban dengan cinta, tanpa mengharap pujian.

Sebab hanya dalam penyerahan kepada-Mu,

kami menemukan damai yang tak bisa dijanjikan dunia.

Amin.