Haidar Alwi Ingatkan Tanggung Jawab Moral Pihak Kritik Polri

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Spekulasi Tanpa Dasar Fakta Bisa Mengganggu Kredibilitas Institusi Negara

Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh R Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), menyebutkan bahwa spekulasi yang dilontarkan oleh purnawirawan TNI Sri Radjasa Chandra tentang adanya agenda tersembunyi di balik pertemuan antara Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto pada 4 Oktober 2025 tidak berdasar. Ia menilai bahwa spekulasi tersebut dapat menciptakan distorsi persepsi publik terhadap dinamika kenegaraan.

Menurut Haidar Alwi, menyebut bahwa Jokowi meminta Prabowo untuk mempertahankan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo demi mengamankan pintu terakhir dalam berbagai kasus yang dihadapi adalah tuduhan tanpa dasar fakta. Ia menilai bahwa narasi seperti ini lebih mirip dengan insinuasi yang mengaburkan logika politik dan hukum negara.

Penunjukan Kapolri Berdasarkan Mekanisme Formal

Dalam sistem demokrasi yang berlandaskan konstitusi, penunjukan dan pemberhentian Kapolri bukanlah produk barter politik. Hal ini dilakukan melalui mekanisme formal yang melibatkan pertimbangan institusional dan etika pemerintahan. Dengan demikian, pernyataan yang tidak didasari fakta justru berpotensi membahayakan stabilitas opini publik.

Ia juga menyampaikan bahwa pernyataan semacam itu bisa menggeser ruang dialog publik dari argumentasi objektif menuju rumor politis yang menstigmatisasi lembaga negara, khususnya Polri. Dengan demikian, Polri seolah-olah dianggap sebagai alat politik personal.

Upaya Transformasi dan Pemulihan Kepercayaan Publik

Di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri sedang berupaya keras menjalankan transformasi kelembagaan, menegakkan keadilan restoratif, serta memulihkan kepercayaan publik melalui langkah-langkah profesional dan humanis. Oleh karena itu, menyandarkan opini publik pada spekulasi tanpa bukti hanya akan memperlemah legitimasi institusi yang sedang berjuang memperbaiki diri.

Etika Berwacana dan Kedewasaan Politik

Para purnawirawan TNI seharusnya menjadi panutan dalam menjaga etika berwacana dan kedewasaan politik di ruang publik. Reputasi mereka dibangun dari disiplin militer dan semangat pengabdian pada negara, bukan pada penggiringan opini yang bersifat destruktif.

Oleh karena itu, sudah selayaknya tokoh-tokoh seperti Sri Radjasa Chandra, Soenarko, Soleman Ponto, dan Saurip Kadi lebih arif dalam menilai dan menyampaikan pandangan yang menyentuh lembaga-lembaga strategis negara seperti Polri.

Pentingnya Kritik Konstruktif

Kritik konstruktif tentu diperlukan, tetapi harus berbasis data dan disampaikan dengan bahasa yang membangun. Jangan sampai menggunakan insinuasi yang memperuncing persepsi publik. Kehati-hatian ini penting agar publik tidak membaca adanya agenda terselubung di balik serangkaian pernyataan yang bernada sinis terhadap Kapolri maupun institusi Polri.

Bila pola ini terus berulang, bisa muncul kesan bahwa sebagian purnawirawan TNI sengaja digunakan atau dibiarkan menjadi corong untuk melemahkan citra Polri dan pribadi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Dampak Terhadap Harmoni dan Soliditas TNI-Polri

Situasi semacam itu bukan hanya merugikan Polri, tetapi juga merusak harmoni dan soliditas antar-institusi pertahanan dan keamanan negara (TNI-Polri). Dalam konteks relasi sipil-militer modern, tanggung jawab moral para purnawirawan TNI bukan lagi berada pada medan tempur, tetapi pada ruang moral kebangsaan.

Mereka diharapkan bisa menjaga agar opini publik tidak disesaki prasangka dan menjaga agar negara tetap berdaulat atas kebenaran, bukan atas rumor.

Patriotisme dalam Berbicara Tentang Institusi Negara

“Keberanian dalam berbicara tentang institusi negara adalah bentuk tertinggi dari patriotisme,” ujar Haidar Alwi. Dengan demikian, setiap pernyataan yang disampaikan oleh para tokoh harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan.