Trump Serang Kepala Bank Sentral AS: "Gagal" Dorong Penurunan Suku Bunga

Scroll Untuk Lanjut Membaca


Bangjo.co.id

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sekali lagi mengungkapkan kritikan tajamnya terhadap Ketua Federal Reserve (Bank Sentral AS), Jerome Powell.

Ia menilai Powell lambat merespons situasi ekonomi, terutama soal penurunan suku bunga.

Lewat media sosial, Trump menyindir keras. “Pemecatan Jerome Powell tidak akan cukup cepat!” tulisnya.

Menurut laporan BBC, pernyataan tersebut disampaikan menjelang pengumuman dari Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), yang sekali lagi menurunkan tingkat suku bunganya untuk ketiga kali dalam setahun ini.

ECB mengatakan bahwa pengurangan tersebut disebabkan oleh ketegangan perdagangan yang semakin memburuk.

Trump, yang menunjuk Powell sebagai Ketua Federal Reserve pada 2017, mengklaimnya  selalu salah langkah.

“Ia selalu TERTINGGAL dan KELIRU dalam mengurangi biaya pinjaman,” tulis Trump.

“Harga minyak anjlok, harga kebutuhan pokok termasuk telur juga merosot, dan Amerika Serikat kian makmur berkat tarif. Sebaiknya sudah mengurangi tingkat suku bunga layaknya bank sentral Eropa sejak dulu, namun saat ini masih perlu melakukannya,” ucapnya.

Meskipun demikian, pernyataan Trump kurang tepat dengan fakta. Walaupun harga minyak benar-benar menurun setelah dia menerapkan aturan tariff terbaru, namun harga telur malah meningkat.

Menurut informasi resmi, harga satu lusin telur di Amerika Serikat berada pada angka 6,23 dolar AS, yang setara dengan kira-kira Rp105.034 (mengacu pada nilai tukar rupiah sebesar Rp16.863 untuk satu dolar AS).

Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang dapat dipercaya mengenai pernyataan Trump tentang besarannya pendapatan negara dari kebijakan tariff.

Ketika Trump melakukan serangan, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde malah mendukung Powell.

“Saya dengan hormat memuji teman dan rekan saya, Jay Powell,” ujar Lagarde ketika menerangkan bahwa kebijakan ECB telah menurunkan tingkat suku bunga dari 2,5% hingga turun menjadi 2,25%.

“Hubungan kami erat dan konsisten di kalangan pemimpin bank sentral,” tambahnya.

Sekarang ini, Powell telah menyampaikan peringatan bahwa pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat mungkin mengalami perlambatan serta biaya untuk berbagai produk penting kemungkinan akan meningkat akibat tarif yang dikenakan oleh Trump.

Menurut Powell, tarif impor tersebut lebih tinggi dari estimasi Federal Reserve.

“Peningkatan tariff yang telah diumumkan sampai saat ini jauh melebihi perkiraan. Dampak pada perekonomian mungkin akan meliputi inflasi yang meningkat serta pertumbuhan yang menjadi lebih lambat,” ucapnya.

Trump masih teguh pada pendiriannya bahwa tarif akan memacu pertumbuhan sektor manufaktur dan menghasilkan lebih banyak pekerjaan.

Sebenarnya, berbagai ahli ekonomi telah mengingatkan tentang bahaya inflasi akibat kebijakan tersebut. Di sisi lain, salah satu komitmen dalam kampanyenya yang dijanjikan oleh Trump adalah untuk meredam laju inflasi.

Bukan kali pertama Trump menyasar Powell. Terdahulu, dia telah melayangkan kritikan kepada Gubernur Bank Sentral karena dianggap terlalu lama dalam pengurangan tingkat suku bunga. Ini berlanjut dari kritikannya pada mantan ketua, Janet Yellen, yang dinilai terlalu lama menjaga suku bunganya tetap rendah.

Saat menjabat, Trump sungguh-sungguh sering mengenakan bea masuk pada produk-produk yang diimpor.

Dia menerapkan pajak 10% pada barang-barang dari kebanyakan negara. Sedangkan terkait dengan China, Trump meningkatkan tariff menjadi 145%, walaupun ada pengecualian untuk beberapa jenis produk seperti telepon genggam pintar.

Sebagai tanggapan, China pun menetapkan tarif sebesar 125 persen pada barang-barang dari Amerika Serikat.

Kantor Berwarna Putih mengatakan bahwa apabila tarif baru digabung dengan tarif sebelumnya, muatan ekonomi terhadap produk-produk dari Cina dapat meningkat hingga 245%.

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) memperkirakan kebijakan tarif Amerika Serikat bisa menyebabkan penurunan volume perdagangan global. Ketidakpastian ini juga mendorong investor menjual obligasi pemerintah AS.

Meski begitu, Powell tetap menilai ekonomi AS masih cukup kuat.

“Ekonomi Amerika Serikat tetap kuat,” katanya.

Sementara itu, Federal Reserve akan tetap menjaga tingkat suku bunga dasar antara 4,25-4,5%, angka yang telah diberlakukan sejak bulan Desember tahun lalu. Mereka mengambil keputusan tersebut dengan pertimbangan untuk melihat perkembangan selanjutnya.

Akan tetapi, apabila inflasi naik akibat kenaikan tarif tersebut, Federal Reserve mungkin akan menghentikan penurunan atau justru menaikkan tingkat suku bunganya.

Walaupun demikian, beberapa pemain di pasar tetap mengantisipasi Federal Reserve akan menurunkan tingkat suku bunga lagi pada tahun ini.

The Fed sebenarnya memiliki dua tugas pokok: menstabilkan laju inflasi serta memastikan angka pengangguran sesedikit mungkin.

Jika keduanya tekanan terjadi sekaligus, Powell mengatakan bahwa mereka akan mencari waktu yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara kedua sasaran tersebut.