Jombang,bangjo.co.id Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang kembali membuat langkah kontroversial. Terminal kargo produktif di Desa Tunggorono, yang menyumbang PAD ratusan juta rupiah setiap tahun, akan digusur untuk pembangunan Sekolah Rakyat. Keputusan ini dinilai terburu-buru, minim kajian, dan hanya mengejar target program pusat tanpa mempertimbangkan dampak riil bagi daerah.
Terminal khusus parkir yang berada di Jl Prof Dr Nurcholis Majid selama ini menjadi solusi parkir truk dan kendaraan barang, serta menghasilkan retribusi sekitar Rp 280 juta per tahun. Bukan jumlah kecil untuk sebuah aset daerah.
Namun terminal ini akan dikorbankan demi proyek Sekolah Rakyat yang mendadak menjadi prioritas. Ironisnya, rencana relokasi terminal ke Kecamatan Perak pun belum siap secara infrastruktur—belum ada pengurukan, penerangan, pos jaga, pagar, bahkan lahan masih dipenuhi pepohonan. Pengusaha dipastikan enggan menggunakan lokasi yang belum representatif, yang berarti PAD bisa hilang begitu saja.
Dilain sisi kepala Dishub Kabupaten Jombang menerangkan butuh waktu dan biaya lagi untuk menyiapkan lokasi pengganti Terminal Cargo saat mengklarifikasi terkait rencana tersebut.
Sebelumnya, lokasi Sekolah Rakyat direncanakan di Denanyar, tapi dibatalkan karena lahannya tak mencapai 5 hektare. Kini dipindah ke Tunggorono karena luas lahannya mencukupi. Keputusan ini dilakukan tanpa melibatkan dewan pendidikan, perguruan tinggi, atau pemangku kepentingan lainnya.
Pertanyaannya: mengapa lahan di Perak atau bahkan Wonosalam tidak dijadikan opsi utama untuk Sekolah Rakyat? Mengapa pemerataan pembangunan selalu dikalahkan oleh ambisi simbolik di pusat kota?
Sekolah Rakyat seharusnya menjadi solusi pemerataan pendidikan, bukan alasan untuk menggusur fasilitas produktif secara sembrono. Jika pembangunan hanya mengejar proyek mercusuar tanpa analisis dampak, maka yang terjadi hanya pemindahan masalah, bukan penyelesaian.
Syahrehal abduh Ketua LSM JRPK “Perencanaan seakan terburu buru dengan anggaran mencapai Rp 200 miliar dari pusat, proyek ini seharusnya dilandasi oleh rencana matang, bukan eksekusi dadakan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya—satu lagi keputusan tanpa arah yang mengorbankan logistik daerah, PAD, dan potensi ekonomi lokal” pungkas Rehal.(Red)