Jombang,bangjo co.id – Dalam dinamika pemerintahan daerah, sinergi antara legislatif dan eksekutif memang penting. Namun, harmoni yang terlalu kental bisa menjadi bumerang ketika batas kewenangan mulai kabur. Fenomena itu belakangan makin terasa di Kabupaten Jombang, di mana Ketua DPRD nyaris selalu hadir mendampingi Bupati dalam berbagai agenda resmi maupun seremonial.
Kehadiran semacam ini, bila sesekali, tentu bisa dimaknai sebagai bentuk dukungan kelembagaan. Tapi ketika menjadi rutinitas bahkan dalam forum-forum yang bukan merupakan domain legislasi muncul pertanyaan serius: masihkah DPRD menjaga peran konstitusionalnya sebagai pengawas kekuasaan?
Di tengah tuntutan masyarakat atas transparansi dan akuntabilitas, dalam bayang-bayang eksekutif. Akibatnya, fungsi kontrol cenderung melemah, kritik terhadap kebijakan meredup, dan pembahasan anggaran serta program pembangunan berjalan tanpa dinamika berarti.
Padahal, dalam sistem pemerintahan yang menganut prinsip checks and balances, DPRD seharusnya hadir sebagai pengimbang bukan pengiring. Pemimpin Daerah bukan sekadar menyetujui kebijakan, melainkan turut memastikan bahwa setiap keputusan eksekutif benar-benar berpihak kepada rakyat.
Pengamat politik lokal pun menilai, kondisi ini bisa memunculkan distorsi persepsi publik. Alih-alih dipercaya sebagai wakil rakyat yang independen, DPRD dikhawatirkan dipersepsikan hanya sebagai pelengkap formal dalam proses birokrasi pemerintahan. “Relasi yang terlalu akrab bisa mengaburkan fungsi kelembagaan. Publik melihat, bukan mendengar. Dan gestur-gestur kekuasaan yang terlalu cair bisa mencederai kepercayaan,” ujar Sahrehal Abduh Ketua LSM Jrpk Kabupaten Jombang.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam berbagai forum publik, aspirasi dan kritik terhadap kebijakan eksekutif sering kali tak mendapat pengawalan serius dari DPRD. Padahal, banyak program yang seharusnya dikawal lebih ketat, terutama terkait anggaran pembangunan dan pemerataan layanan dasar di wilayah pinggiran Jombang.
Menjadi mitra kepala daerah bukan berarti harus selalu satu suara. Justru DPRD harus mampu berdiri di posisi kritis ketika kebijakan tidak berpihak kepada warga. Keseimbangan kekuasaan hanya bisa terjaga jika masing-masing lembaga memahami batas dan tanggung jawabnya secara tegas.
Kini saatnya DPRD Jombang mengevaluasi kembali posisi dan perannya. Loyalitas sejatinya bukan kepada kekuasaan, melainkan kepada rakyat yang memberi mandat. Bila peran pengawasan terus diabaikan demi menjaga “kekompakan”, maka DPRD hanya akan terjebak menjadi institusi formal yang kehilangan jati dirinya.
Demokrasi lokal yang sehat membutuhkan keberanian untuk menjaga jarak dari kekuasaan, bukan untuk menjauhi, tapi agar tetap bisa melihat dengan jernih—dan bersuara dengan lantang, ketika rakyat memerlukannya.(Red)