Scroll Untuk Lanjut Membaca

 

Jombang,Bangjo,co.id– Isu dugaan keterlibatan Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, dalam bisnis outsourcing mulai memicu keresahan publik. Sorotan tajam datang dari LSM Jejaring Rakyat Peduli Keadilan (JRPK) Jombang, yang mengendus adanya indikasi kuat keterkaitan antara politisi tersebut dengan perusahaan penyedia jasa cleaning service dan keamanan yang menguasai berbagai proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jombang.

 

Kecurigaan publik bukan tanpa alasan. Dalam sebuah podcast yang sempat viral di media sosial, Hadi Atmaji secara terbuka mengakui pernah menekuni usaha di bidang jasa kebersihan. Walau tidak menyebut secara gamblang nama perusahaannya, pengakuan itu menjadi pintu masuk bagi LSM JRPK untuk menelusuri kemungkinan adanya konflik kepentingan dalam pengadaan jasa di instansi pemerintah dan lembaga pendidikan berbasis pesantren.

 

Ketua JRPK, Sah Rehal Abduh, menegaskan pihaknya menerima berbagai laporan masyarakat yang merasa ada pola tak wajar dalam proses pengadaan jasa outsourcing selama dua tahun terakhir. Permintaan terhadap jasa cleaning service dan tenaga keamanan di banyak OPD, rumah sakit, hingga pondok pesantren melonjak tajam dan menariknya, vendor yang digunakan cenderung itu-itu saja.

 

“Kami melihat kecenderungan pengadaan yang mengarah pada perusahaan tertentu. Dan publik mengaitkan perusahaan itu dengan figur politik yang berada dalam lingkar kekuasaan. Ini bukan lagi ranah asumsi, tapi butuh klarifikasi terbuka,” kata Sah Rehal Abduh, Sabtu (17/5/2025).

 

Menurut Ketua LSM JRPK, Pemkab Jombang harus membuka seluruh data pengadaan jasa outsourcing selama tiga tahun terakhir, termasuk nama perusahaan pemenang, struktur kepemilikan, dan riwayat hubungannya dengan pejabat publik. Desakan audit pun tak terhindarkan.

 

“Kalau Ketua DPRD masih terafiliasi secara langsung atau tidak langsung dengan perusahaan jasa seperti ini, maka kita bicara soal konflik kepentingan serius. Fungsi pengawasan bisa tumpul karena ada kepentingan pribadi yang bermain,” tegas Sah Rehal.

 

Isu ini juga mengungkap praktik lama yang disebut sebagai “pasang wayang” di mana perusahaan milik kolega atau keluarga pejabat secara halus disisipkan dalam proyek pemerintah melalui pengaruh kekuasaan. Dalam praktik ini, keterlibatan tokoh politik tidak selalu dalam bentuk kepemilikan resmi, namun melalui tangan ketiga: keluarga, rekan bisnis lama, hingga nominee perusahaan.

 

Ironisnya, kasus dugaan cawe-cawe ini tak hanya menyangkut jasa kebersihan. JRPK juga menerima informasi bahwa bisnis outsourcing tenaga keamanan (satpam) di lingkungan dinas Pemkab Jombang diduga turut dikendalikan jaringan yang sama. Hal ini menjelaskan mengapa hampir seluruh kantor dinas kini tertutup rapat dan dijaga ketat oleh satpam bukan sekadar protokol, tapi menciptakan sekat antara ASN dan masyarakat.

 

“Kebijakan penguncian kantor ini awalnya diberlakukan saat pandemi COVID-19, tapi ketika pandemi telah usai, kenapa aturan itu tetap dipertahankan? Ini bukan lagi soal keamanan, tapi soal membatasi akses publik terhadap pelayanan,” ungkap Sah Rehal dengan nada geram.

 

Ia menyayangkan kondisi di mana masyarakat semakin sulit menjangkau birokratnya sendiri. Para ASN kini seperti hidup di menara gading jauh dari jangkauan rakyat, nyaman di balik sistem yang melindungi, namun sekaligus menyembunyikan.

 

“Bupati Warsubi seharusnya menghentikan penggunaan tenaga keamanan yang menambah jarak antara warga dan pelayan publik. Keterbukaan dan transparansi harus jadi prinsip, bukan malah ASN dikondisikan untuk tidak terjangkau,” tegasnya.

 

Hingga berita ini diturunkan, Ketua DPRD Hadi Atmaji belum memberikan pernyataan resmi. Upaya konfirmasi dari berbagai media belum mendapat tanggapan. Diamnya Hadi justru menambah kuat persepsi publik bahwa ada hal yang ingin disembunyikan.

 

“Jika tidak terlibat, seharusnya beliau tampil menjelaskan dan membantah semua dugaan dengan data. Tapi kalau memilih bungkam, jangan salahkan jika masyarakat menganggap ada sesuatu yang ditutupi,” pungkas Sah Rehal.

 

Dugaan ini menjadi ujian serius terhadap integritas institusi DPRD Jombang. Ketika seorang pejabat tinggi legislatif diduga punya keterkaitan bisnis dengan proyek pemerintah, maka batas antara kepentingan publik dan pribadi harus diperjelas. Publik menuntut lebih dari sekadar jabatan mereka menginginkan transparansi, kejujuran, dan keberanian untuk bersih.(red)