JOMBANG,Bangjo.co.id – Dunia pendidikan di Kabupaten Jombang kembali diguncang kabar tidak sedap. Seorang kepala sekolah dasar berstatus PNS, Roiyah, S.Pd.SD, diduga melakukan pungutan liar (pungli) terhadap gaji guru honorer sekaligus menyelewengkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kasus ini tengah menjadi sorotan setelah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jombang menerbitkan surat panggilan resmi untuk melakukan pemeriksaan.
Isu pungli dan penyelewengan BOS ini bukan sekadar persoalan administrasi. Dugaan penyalahgunaan tersebut menyentuh hal fundamental dalam dunia pendidikan, yakni integritas pengelolaan keuangan sekolah. Guru honorer yang sudah bekerja keras dengan gaji minim diduga menjadi korban, sementara dana BOS yang seharusnya digunakan untuk menunjang kegiatan belajar siswa justru dipertanyakan penggunaannya.
Seorang anggota komite sekolah SDN Plosogeneng 3 yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku sudah lama mendengar keluhan terkait praktik pungli dan penyalahgunaan dana BOS. Ia menyebut, komite sekolah sering diposisikan hanya sebagai formalitas, tanpa benar-benar dilibatkan dalam pengawasan keuangan.
“Sudah lama ada bisik-bisik soal potongan gaji guru honorer. Selain itu, laporan penggunaan dana BOS tidak pernah transparan ke komite. Padahal secara aturan, komite punya hak untuk ikut mengawasi,” ungkapnya kepada Bangjo.co.id, Jumat (3/10/2025).
Menurutnya, Diknas harus memberi sanksi tegas, baik itu mutasi atau pemberhentian sehingga akan memberi efek jera. “Kami sebagai komite jadi bingung, kok tidak ada sanksi tegas, kami berharap beliau diberhentikan atau diganti dengan kepala sekolah yang baru,biar jera,” tambahnya.
Merespons berbagai laporan dan aduan, Disdikbud Jombang akhirnya bergerak. Pada 19 September 2025, instansi ini mengeluarkan Surat Panggilan I bernomor 800.1.6/8749/415.16/2025.
Dalam surat tersebut, terpanggil diminta hadir memberikan keterangan pada Senin, 22 September 2025 pukul 10.00 WIB di Ruang Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Pemeriksaan akan dipimpin langsung oleh Abdul Majid, S.Psi., M.M., selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan Disdikbud Jombang.
Dokumen yang ditandatangani secara elektronik oleh Kepala Disdikbud Jombang, Dra. Wor Windari, M.Si., memuat sejumlah dugaan pelanggaran yang diarahkan kepada Roiyah. Antara lain tidak menunjukkan integritas dan keteladanan, penyalahgunaan wewenang, menjadi perantara untuk keuntungan pribadi maupun pihak lain, melakukan atau tidak melakukan tindakan yang merugikan pihak yang dilayani, serta dugaan penyalahgunaan dana BOS.
Meski surat panggilan sudah beredar dan pemeriksaan dijadwalkan, hingga kini Disdikbud Jombang belum mengeluarkan pernyataan resmi. Tidak ada keterangan terbuka mengenai dugaan pungli maupun penyalahgunaan dana BOS di SDN Plosogeneng 3.
Publik menanti kejelasan sikap Disdikbud, apakah kasus ini akan benar-benar diusut tuntas atau hanya berhenti pada pemeriksaan internal. Transparansi dan ketegasan menjadi kunci agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan tetap terjaga.
Berdasarkan penelusuran Bangjo.co.id, kasus dugaan pungli dan penyelewengan dana BOS di SDN Plosogeneng 3 bisa ditarik dari awal 2025. Berikut rangkuman kronologinya:
Awal 2025: Guru honorer mulai mengeluhkan adanya potongan gaji dan kurangnya transparansi penggunaan dana BOS.
Pertengahan 2025: Aduan resmi mulai masuk ke Disdikbud Jombang.
19 September 2025: Disdikbud menerbitkan Surat Panggilan I
22 September 2025: Jadwal pemeriksaan pertama di Ruang Bidang Pembinaan Ketenagaan Disdikbud Jombang.
3 Oktober 2025: Informasi surat panggilan menyebar ke publik, memicu sorotan media dan aktivis pendidikan.
Timeline ini menunjukkan bahwa isu pungli sudah lama menjadi keluhan, sebelum akhirnya direspons secara resmi oleh Disdikbud.
Kasus SDN Plosogeneng 3 diduga bukan satu-satunya. Informasi yang diperoleh Bangjo menyebutkan bahwa praktik serupa juga terjadi di sejumlah sekolah negeri lain di Kabupaten Jombang. Guru honorer yang posisinya lemah sering kali tidak berani melapor, sementara komite sekolah tidak sepenuhnya dilibatkan dalam pengawasan dana BOS.
“Kalau ini benar, berarti bukan sekadar kesalahan individu, tapi sudah jadi pola. Ada semacam budaya diam, karena semua pihak takut ribut dengan kepala sekolah,” ujar Sahrehal Abduh , Ketua Lsm JRPK Jombang.
Menurut Rehal, pola umum yang sering ditemui adalah pemotongan gaji guru honorer dengan alasan administratif serta mark up laporan BOS.
“Dana BOS seharusnya untuk kegiatan pembelajaran, tapi kadang-kadang justru dipakai untuk hal-hal yang tidak jelas. Ini merugikan siswa,” katanya.
Kasus dugaan pungli gaji guru honorer dan penyelewengan BOS ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Orang tua murid berharap dana BOS benar-benar digunakan untuk kepentingan siswa, sementara guru honorer menunggu kepastian bahwa hak mereka tidak lagi dirampas.
“Pendidikan adalah fondasi bangsa. Kalau dana BOS saja bisa diselewengkan, bagaimana kita bisa berharap kualitas sekolah negeri meningkat? Ini harus jadi momentum bersih-bersih,” Tambahnya.
Dengan mencuatnya kasus ini, masyarakat menaruh harapan besar agar pengelolaan dana pendidikan di Kabupaten Jombang lebih transparan. Komite sekolah pun didesak memainkan peran lebih aktif dalam pengawasan, bukan hanya menjadi pelengkap administrasi.
(Hamzah)