JAKARTA,Bangjo.co.id – Berbohong seringkali dianggap sebagai tindakan moral yang buruk, namun dari kacamata psikologi, kebiasaan berbohong berulang kali bisa menjadi sinyal adanya masalah emosional dan mental yang lebih dalam. Lebih dari sekadar merusak kepercayaan, kebohongan kronis ternyata bisa membawa dampak serius bagi kesehatan mental si pelaku, mulai dari stres hingga kecemasan konstan.
Akar Psikologis: Dari Mythomania hingga Kebutuhan Validasi
Bagi sebagian orang, berbohong adalah mekanisme pertahanan diri yang kompleks. Psikolog klinis sering mengaitkan kebiasaan ini dengan beberapa akar masalah, yang paling ekstrem adalah Mythomania atau berbohong patologis.
“Mythomania adalah kondisi psikologis di mana seseorang berbohong secara kompulsif, terkadang tanpa motif yang jelas, dan bahkan seringkali percaya pada kebohongannya sendiri. Ini bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi sudah masuk kategori gangguan,” ujar seorang psikolog.
Selain itu, kebutuhan akan validasi dan rasa percaya diri yang rendah juga menjadi pemicu utama. Berbohong menjadi jalan pintas untuk mendapatkan pengakuan, pujian, atau perhatian yang dirasa kurang. Faktor lain termasuk:
* Menghindari Konsekuensi: Cara cepat untuk menghindar dari hukuman, rasa malu, atau tanggung jawab.
* Pelepasan Dopamin: Dalam beberapa kasus, berbohong dapat memicu pelepasan hormon dopamin, menciptakan sensasi kegembiraan sementara yang bisa berujung pada ‘kecanduan’ berbohong.
* Indikasi Gangguan Kepribadian: Pada level tertentu, kebiasaan ini bisa menjadi gejala dari gangguan kepribadian yang lebih serius.
Dampak Buruk bagi Kesehatan Mental
Ironisnya, alih-alih menyelesaikan masalah, kebohongan justru menciptakan masalah baru bagi pelaku. Dampak psikologis dari berbohong secara kronis sangat merugikan:
* Stres dan Depresi Kronis: Hidup dalam kepura-puraan membutuhkan energi mental yang besar. Ketakutan akan kebohongan yang terbongkar memicu stres kronis dan dapat berujung pada depresi.
* Kecemasan Konstan: Pelaku akan hidup dalam kecemasan dan ketakutan yang terus-menerus, khawatir lupa akan detail kebohongan yang pernah ia sampaikan.
* Kerusakan Hubungan: Secara sosial, kebohongan menghancurkan modal utama hubungan: kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan isolasi, kesepian, dan kerusakan hubungan sosial yang parah.
Perspektif Agama: Sebuah Pelajaran tentang Kejujuran
Dalam pandangan Islam, kejujuran adalah prinsip fundamental. Berbohong, atau al-kadzib, dianggap sebagai dosa besar yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, kejujuran adalah ciri orang beriman.
Namun, menariknya, terdapat pengecualian yang dikenal sebagai Kebohongan Putih (White Lie) yang diperbolehkan dengan batasan ketat, yaitu:
* Mendamaikan Pihak Bertikai: Berbohong untuk mencapai perdamaian antara dua pihak yang sedang berselisih.
* Keharmonisan Rumah Tangga: Kata-kata yang tidak sesuai fakta namun bertujuan menjaga keharmonisan suami dan istri.
* Strategi Perang: Menipu musuh di medan perang untuk menjaga keamanan dan meraih kemenangan.
Pengecualian ini, bagaimanapun, harus digunakan secara hati-hati dan tidak dijadikan pembenaran untuk kebiasaan berbohong sehari-hari.
Cara Menghadapi dan Mengatasi Kebiasaan Berbohong
Jika Anda atau orang terdekat memiliki kebiasaan berbohong yang sulit dikendalikan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
* Dukungan dan Empati: Bagi orang terdekat, bersikap suportif dan menghargai mereka apa adanya dapat mengurangi tekanan bagi mereka untuk berbohong demi validasi.
* Batasi Percakapan: Untuk melindungi diri, batasi percakapan dan interaksi yang berpotensi menimbulkan kebohongan.
* Cari Bantuan Profesional: Langkah terbaik adalah mencari psikolog atau psikiater. Terapi dapat membantu mengidentifikasi akar masalah, baik itu trauma masa lalu, kecemasan, atau gangguan kepribadian, sehingga bisa diberikan penanganan yang tepat.
Pada akhirnya, kejujuran bukan hanya soal moralitas, tetapi juga tentang kesehatan mental dan kualitas

